beritajalan.web.id Beberapa tahun terakhir, fotografi jalanan atau street photography semakin populer di Indonesia. Tren ini muncul bersamaan dengan maraknya aktivitas luar ruang seperti olahraga lari, bersepeda, dan komunitas urban lainnya. Banyak fotografer hobi mengabadikan momen spontan di ruang publik — wajah pelari, ekspresi pedagang, atau suasana kota di pagi hari.
Namun, popularitas ini juga memunculkan perdebatan etika dan hukum. Tidak sedikit orang yang merasa terganggu karena difoto tanpa izin, terlebih ketika hasil foto mereka diunggah ke media sosial atau dijual di platform digital. Sebagian menganggap ini bentuk apresiasi artistik, sementara sebagian lain menilainya sebagai pelanggaran privasi.
Fenomena ini pun menjadi sorotan para ahli, termasuk Elok Santi Jesica, S.Pd., MA, seorang sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi melalui kamera tidak boleh mengabaikan hak orang lain, terutama dalam hal privasi dan penggunaan data pribadi.
Fotografi di Ruang Publik Tidak Selalu Bebas
Menurut Elok, memotret di ruang publik sebenarnya diperbolehkan selama tidak melanggar aturan dan hak individu. Ruang publik memang dimaksudkan untuk diakses bersama secara demokratis, termasuk untuk kegiatan sosial dan artistik. Namun, ketika seseorang menjadi objek utama foto, maka izin tetap dibutuhkan.
“Jika seseorang difoto tanpa persetujuan, itu bisa melanggar hak privasi. Pelanggaran akan semakin berat bila hasil foto dijual atau disebarluaskan tanpa izin,” jelasnya.
Ia menambahkan, tindakan semacam ini termasuk dalam bentuk pengambilan dan distribusi data pribadi tanpa izin. Dalam konteks hukum, foto seseorang yang dapat dikenali termasuk bagian dari data pribadi yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Pelanggaran Privasi Bisa Masuk Ranah Hukum
Elok menjelaskan, penggunaan foto tanpa izin dapat menimbulkan konsekuensi hukum. UU PDP mengatur perlindungan terhadap data pribadi yang mencakup gambar wajah seseorang. Selain itu, penyebaran foto tanpa izin juga dapat bersinggungan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Selama ini belum ada regulasi yang spesifik tentang pengambilan foto tanpa izin sebagai pelanggaran privasi, tapi UU PDP dan UU ITE bisa menjadi payung hukum untuk kasus seperti ini,” ungkapnya.
Sebagai perbandingan, di beberapa negara lain, aturan semacam ini sudah lama berlaku. Elok mencontohkan Korea Selatan, di mana mengambil foto seseorang tanpa izin dikategorikan sebagai pelanggaran serius, bahkan termasuk dalam tindak kekerasan seksual digital. Pelakunya bisa dikenai hukuman denda dan pidana.
Etika dan Tanggung Jawab Fotografer
Bagi Elok, fotografer seharusnya memiliki kesadaran etika dalam setiap karya yang dihasilkan. Memotret orang lain tanpa izin bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal penghormatan terhadap martabat manusia.
“Menjadikan seseorang sebagai objek foto memerlukan izin dari yang bersangkutan. Bahkan setelah izin diberikan, fotografer harus menjelaskan untuk apa foto itu akan digunakan,” tuturnya.
Ia menekankan, izin tidak boleh hanya bersifat formalitas. Tujuan penggunaan, penyimpanan, dan distribusi foto juga perlu diinformasikan dengan jelas. Misalnya, apakah foto akan digunakan untuk kepentingan promosi, pameran, media sosial, atau platform penjualan foto digital.
Dengan begitu, fotografer dapat menjaga transparansi dan menghindari kesalahpahaman. Prinsip ini penting untuk menjaga kepercayaan antara fotografer dan masyarakat.
Tantangan Etika di Era Digital
Era digital membuat foto dapat tersebar dengan cepat dan tanpa batas. Banyak fotografer yang awalnya hanya ingin berbagi karya di media sosial, namun akhirnya menghadapi masalah karena foto tersebut digunakan pihak lain tanpa izin.
Elok menilai kondisi ini sebagai tantangan baru dalam dunia digital. Masyarakat kini harus lebih berhati-hati dalam merekam dan membagikan data visual, baik berupa foto maupun video. “Setiap unggahan membawa konsekuensi. Sekali foto tersebar di internet, sulit untuk mengontrol penggunaannya,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan digital dan kesadaran hukum bagi generasi muda, terutama mereka yang aktif di media sosial. Dengan memahami risiko penyalahgunaan data, masyarakat dapat lebih bijak dalam mengikuti tren yang sedang populer.
Saran untuk Fotografer Jalanan
Elok tidak menolak praktik fotografi jalanan. Ia justru mengapresiasi kreativitas para fotografer yang mampu menangkap keindahan kehidupan urban. Namun, ia mengingatkan agar mereka lebih berhati-hati dan bertanggung jawab.
“Prinsipnya sederhana: mintalah izin, jelaskan tujuan, dan hormati keputusan orang yang menolak difoto,” tegasnya.
Ia juga menyarankan fotografer untuk menghindari pemotretan yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan, seperti mengambil foto dari jarak terlalu dekat atau menangkap momen pribadi tanpa sepengetahuan subjek.
Jika foto digunakan untuk kepentingan komersial atau promosi, sebaiknya dibuatkan perjanjian tertulis sederhana agar kedua pihak sama-sama terlindungi.
Kesimpulan
Fenomena fotografi jalanan menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin gemar mendokumentasikan kehidupan sehari-hari. Namun di balik tren tersebut, penting bagi setiap fotografer untuk memahami batasan etika dan hukum.
Pesan dari dosen UGM, Elok Santi Jesica, mengingatkan bahwa setiap foto yang menampilkan individu memiliki nilai moral dan tanggung jawab hukum. Memotret dengan izin bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak privasi.
Dengan kesadaran ini, dunia fotografi bisa berkembang lebih sehat. Fotografer dapat tetap bebas berkarya, sementara masyarakat merasa aman dan dihormati. Sebuah keseimbangan yang ideal antara kreativitas, etika, dan perlindungan hak asasi manusia.

Cek Juga Artikel Dari Platform rumahjurnal.online
