beritajalan.web.id Teriakan ini menggema di Taman Ratna, Kathmandu, ketika ratusan pemuda membawa spanduk buatan tangan. Beberapa bertuliskan “Demokrasi, bukan diktator”, sementara lainnya menampilkan kata sederhana: Roti, Kapda, Ghar — roti, pakaian, tempat tinggal.
Arjun, pemuda 22 tahun lulusan ekonomi, berdiri di atas tembok rendah memegang pengeras suara. Ia menantang pemerintah yang gagal menyediakan lapangan kerja. “Saya belajar untuk bekerja di negeri sendiri, bukan untuk jadi buruh di luar negeri!” serunya.
Tidak jauh darinya, Pushpa—ibu dua anak asal Chitwan—mengangkat spanduk bertuliskan “Hentikan Penjualan Pemuda ke Negara-Negara Teluk”. Suaminya sudah tujuh tahun bekerja di Qatar. “Saya ingin hidup bersama keluarga, bukan terpisah,” katanya dengan suara serak akibat gas air mata.
Sekitar sepuluh persen penduduk Nepal bekerja di luar negeri. Bagi banyak keluarga, pengiriman uang dari mereka adalah penyelamat sekaligus kutukan.
Akar Kemarahan: Dari Monarki ke Republik
Untuk memahami kemarahan rakyat Nepal, kita perlu menengok sejarahnya. Awal dekade 2000-an, keluarga kerajaan Nepal diguncang tragedi berdarah. Setelah itu, Raja Gyanendra mengambil alih takhta dengan gaya otoriter. Ia membubarkan parlemen, menahan lawan politik, dan menekan media.
Rakyat menolak tunduk. Jutaan orang turun ke jalan dalam demonstrasi besar yang akhirnya memaksa raja menyerahkan kekuasaan. Dua tahun kemudian, monarki dihapuskan dan republik didirikan. Momen itu disambut sorak sorai: “Loktantra Zindabad!”—hidup demokrasi.
Gerakan kiri saat itu menjadi pusat harapan. Partai Maois dan Partai Komunis Nepal (UML) berjanji membangun “Nepal Baru”: tanah untuk petani, pekerjaan bagi kaum muda, dan kesetaraan bagi masyarakat Dalit. Namun janji itu memudar. Perebutan kekuasaan, korupsi, dan politik balas budi menggantikan semangat perjuangan rakyat.
Ketika parlemen berulang kali dibubarkan dan partai berselisih, rakyat kembali turun ke jalan. “Bukan untuk ini kami menumbangkan raja,” ujar Rita, buruh garmen yang kecewa.
Ketimpangan dan Krisis Hidup
Meski ada pertumbuhan ekonomi, kesenjangan semakin lebar. Remitansi dari tenaga kerja migran memang menopang perekonomian, tetapi membuat banyak desa kehilangan generasi mudanya. Di Kathmandu, apartemen mewah menjulang, sementara sekolah di pedesaan tutup karena kekurangan siswa.
Inflasi menjadi momok. Harga pangan dan bahan bakar melonjak. Untuk keluarga miskin, memilih antara makan tiga kali atau hanya dua kali sehari menjadi hal biasa. Tarif bus pelajar naik dua kali lipat, pupuk mahal, dan daging jadi barang mewah.
Di pedesaan, banyak keluarga hidup dari upah harian tanpa jaminan sosial. Upah nominal meningkat, tetapi daya beli justru menurun. Kelas pekerja tetap terjebak dalam kemiskinan, sementara elit politik memperkaya diri.
Sementara itu, pandemi memperparah luka lama. Rumah sakit kehabisan oksigen, vaksin terlambat datang karena korupsi, dan banyak keluarga kehilangan orang tercinta tanpa mendapat perawatan. “Kami tak bisa bernapas,” kata Laxmi, pedagang kecil yang kehilangan ayahnya.
Pemberontakan Generasi Baru
Gelombang protes terbesar muncul dari generasi muda. Dikenal sebagai “Pemberontakan Gen Z”, mereka memenuhi jalanan Kathmandu, Pokhara, dan Biratnagar. Kebanyakan adalah mahasiswa dan lulusan baru yang kecewa karena tidak mendapat pekerjaan.
Mereka menolak korupsi dan ketidakadilan sosial, menuntut “pangan, pekerjaan, dan martabat.” Larangan pemerintah terhadap media sosial hanya memperburuk situasi. Tindakan represif seperti gas air mata dan peluru karet justru menyalakan semangat perlawanan baru.
Puluhan orang tewas dan ribuan terluka. Namun suara mereka mengguncang elit politik. Perdana Menteri akhirnya mundur, menandai salah satu titik balik paling penting sejak kejatuhan monarki.
Bagi banyak orang muda, ini bukan sekadar protes politik, melainkan perlawanan terhadap sistem yang gagal. Mereka adalah generasi yang lahir di bawah republik, dibesarkan dengan janji demokrasi, namun hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
Kemenangan Simbolik dan Harapan Baru
Ketidakpercayaan terhadap partai besar terlihat saat Balen Shah, seorang rapper independen, terpilih sebagai wali kota Kathmandu. Slogannya “Tanpa Partai, Tanpa Korupsi” menggambarkan keinginan rakyat untuk perubahan nyata.
Namun partai besar mengabaikan pesan itu. Alih-alih berbenah, mereka tetap sibuk dengan politik kekuasaan. Hasilnya, rakyat semakin muak.
Titik Balik Republik
Krisis Nepal bukan sekadar politik, tetapi juga moral dan sosial. Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga negara, sementara elit menolak bertanggung jawab. Tuduhan bahwa protes didalangi “kekuatan asing” hanya memperdalam jurang antara pemerintah dan rakyat.
Nepal kini berada di persimpangan jalan. Satu jalan menuju stagnasi—di mana koalisi berganti tanpa perubahan nyata. Jalan lain menuju kembalinya kekuatan konservatif yang menawarkan stabilitas semu. Namun masih ada jalan ketiga: kebangkitan rakyat dari bawah, yang menuntut keadilan sosial, pekerjaan layak, dan demokrasi sejati.
Keberhasilan masa depan Nepal bergantung pada apakah energi pemberontakan ini bisa berubah menjadi gerakan politik berkelanjutan. Banyak dari anak muda yang memimpin protes kini bersiap menjadi pemilih dan bahkan calon wakil rakyat dalam pemilu berikutnya.
Tujuh belas tahun setelah berakhirnya monarki, proyek republik masih belum selesai. Impian tentang kesetaraan dan partisipasi rakyat berubah menjadi kenyataan pahit berupa korupsi dan pengkhianatan. Namun satu hal tetap jelas: rakyat Nepal belum menyerah. Mereka masih percaya bahwa sejarah bisa diarahkan kembali ke jalur yang benar—oleh tangan mereka sendiri.

Cek Juga Artikel Dari Platform marihidupsehat.web.id
